1.
DONGENG, PADA DEKADE 60-AN PERNAH BERJAYA
Sikitar Tahun 1960-an guru
Sekolah Rakyat (SR) sekarang SD, seminggu sekali berkewajiban mendongeng di
depan anak-anak. Guru kelas I hingga kelas IV, tak terkecuali. Kala itu dongeng
menjadi salah satu pelajaran favorit yang ditunggu para siswa.
“Salah satu SR di Kecamatan Patuk,
sekarang namanya SD Buner II, punya guru yang fasih mendongeng. Ibu Tukilah,
demikian nama guru yang pinter
membawakan sejumlah dongeng itu,” kenang MH Mudilestri, pegiat perempuan, di
rumahnya, Minggu 11/9/2016.
Yang Ibu Tukilah bawakan, lanjut
Mudilestari, pasti dongeng melankolis bertema ketidakadilan seperti Mawar
Menur dan Melati, atau Bawang Merah Bawang Putih. Jarang
dia mendongeng soal Kancil Nyolong Timun. Cerita yang disebut belakangan biasa
dibawaan oleh guru laki-laki.
Dihimpun dari berbagai sumber, Mulai
18 Februari 1960 hingga 6 Juni 1968 Mentri pendidikan secara berturut-turut oleh
Presiden Soekarno dipercayakan kepada: Priyono,
Sarino
Mangun Pranoto, serta Sanusi Hardjadinata.
“Saya menduga, kebijakan Mentri
Sarino Mangun Pranoto, tokoh Tamansiswa kala itu, berpengaruh besar terhadap
kebijakan pemerintah, sehingga guru SR diwajibkan membawakan dongeng di depan
kelas,” ulas Mudilestari.
Dongeng, sebagai karya sastra,
memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk karkter siswa. Penokohan cerita
yang cenderung hitam putih, menggiring para murid untuk berpihak kepada
kebenaran.
Tetapi masuk ke kurun waktu
1970-an, kritik Mudilestari, tidak ada lagi guru yang mendongeng di depan
kelas. Termasuk sampai ke Orde Reformasi.
“Masa jaya kebiasaan mendongeng
haya sekejab. Dewasa ini tergilas oleh budaya layar kaca, yang bertubi
mempertotonkan tele novela produk / budaya manca,” ujar Mudilestari prihatin.
Menurutnya dua hal yang menjadi
penyebab mengapa kebiasaan mendongeng berhenti. Pertama, Pemerintah tidak ada
kepedulian untuk itu. Peran guru sebagai pendongeng digantikan oleh
perpustakaan sekolah. Dianggap, murid kelas I SD sudah cukup matang untuk
memahami isi dongeng tertulis. Murid, dalam hal ini kehilanan guru dengan
gerak mimik tertentu yang membantu
pemahaman cerita.
Kedua, simpul Mudilestari, orang
tua tidak lagi memiliki empati. Hampir mirip dengan Pemerintah, mereka
menguasakan penuh kepada sekolah plus stasiun TV yang royal memutar filem
cerita.
Ketika terjadi penyimpangan
karakter tak terkendali, baru mereka terkaget-kaget. Dia menunjuk contoh
kongkrit, Megawati Sukarno Putri mengeluhkan perilaku anak muda yang dengan
enteng membuly Presiden.
"Sekarang
saya lihat anak muda sopan santun nggak ada. Di medsos kebal aja nggak.
Presiden sendiri dijelek jelekin. Saya mikir
kita ini negara apa toh," kutib Mudilestari
sebagaimana dilansir media Pusat.
2.
YOGYAKARTA PIONIR PEMBACAAN BUKU
“Keheranan
yang dilontarkan Megawati rasanya merupakan kutukan Zaman. Jokowi, dengan
Nawacita memang bertekad membangun karakter bangsa. Sayang, dia tidak fasih
benar bagaimana agar setiap warga negara punya sopan santun,” kata Untung Nurjaya,
mantan anggota DPRD Gunungkidul.
Dongeng,
yang di era 1960-an harus diceritakan live di depan para murid, untuk yang
pertamakalinya diubah menjadi cerita dengan format audio melalui siaran tunda
RRI Nusantara II Yogyarta.
Sebagai kota
pelajar sejak tahun 1970 menurut catatan Untung Nurjaya, pernah mempelopori memprogram
pendidikan karakter dengan cara medongeng
/ membaca cerita lewat media elektroik.
Satiun RRI
Nusantara II Yogyakarta melakukan siaran ulang pembacaan buku. Tokoh yang
dikenal kala itu adalah Ki Hadi Sukatno guru Taman Siswa yang lahir di
Delanggu, Klaten 26 Mei 2015.
Saban kamis
malam, pukul 23.00 hingga 24.00 WIB, ribuan penggemar dongeng / cerita Pak
Katno tidak beranjak dari pesawat radio.
Kelebihan
Pak Katno di sampng narasi, ada pada dialog antar tokoh. Dia fasih menirukan
suara orang tua, perempuan, maupun anak-anak. Setelah beliau wafat 10 November
1983, pembacaan buku nyaris vakum.
Ada generasi
penerus yang melebihi kemampuan Pak Katno, yakni Abas Ch, yang mengudara di Radio
Retjo Buntung. Sayang, Abas pembaca dongeng Weri Siswa, terjemahan serial Sun
Go Kong ini mati muda.
Kehilangan Pak
Katno dan Abas Ch, langit Yogyakarata relatif ‘sepi’ dean cemplang. Segenap
pandemen dongeng atau serial pembacaan cerita lewat radio tidak hanya kecewa,
tetapi kehilangan rantai budaya yang mengagumkan.
Merujuk
radio swata yang ada di Kabupaten Gunungkidul kiranya sulit diharap, bahwa mereka
tergerak melakukan meneruskan kultur seperti RRI dan Retjo Buntung.
Membuka
berbagai literatur, menjelang gerakan reformasi satu satsiun radio swasta di
Jawa Barat mencoba membangkitkan budaya dongeng. Kultur mulai membaik.
Dongeng,
sebagai karya sastra, menurut Asdi S. Dipodjoyo, pengamat sekaligus ahli cerita
rakyat, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNY, memuat pesan moral yang kuat.
“Dengan
banyak mendengarkan dongeng, sedikit demi sedikit kalbu pendengar terlatih memilah
hal yang haq dang yang batil, yang benar dan yang salah,” kata dia pada
kesempatan memberi kuliah kepada mahasiswanya.
Dalam karya
sastra, apa pun bentuk dan formatnya, selalu tersirat pesan istimewa, yang pada
gilirannya bisa memperhalus budi pekerti.
3.
DARI KOTA PENDIDIKAN KE KOTA KEMBANG
Kehebatan
Pak Katno dan Abas Ch merupakan cerita romantis bagi para penggemar pembacaan
buku di Kota Gudek. Tahun 1995, Bandung si Kota Kembang menggeliat. Dongeng
Sunda mulai digarap, bukan oleh pemerintah, tetapi swasta.
Dongeng
Sunda, salah satu bentuk produksi siaran
dikembangkan oleh radio swasta. Perjalanannya unik. Proses kelahirannya
tiba-tiba tanpa perencanaan dan konsep. Setelah disadari, bahwa masyarakat
Sunda terpantau oke berikutnya dilakukan penataan
Tahun 1995,
Joessrul bos Radio Sinta Buana, Bandung mengatakan, Dongeng Sunda mulai pudar
seiring dengan perkembangan jaman.
“Memasukkan
Dongeng Sunda dalam bentuk produksi siaran, apa pun alasanya kala itu dinilai
lucu, bahkan seperti tidak masuk akal,” aku Joessrul satu ketika.
Menurut pria
usia 40-an yang pernah menjabat sebagai Ketua PD PRRSNI Jawa Barat 1995 ini, Dongeng
sunda di radio tidak lahir dari pemikiran
hebat.
Tahun
1960-an, kata dia, masyarakat Jawa Barat pernah demam bacaan. Pilihannya komik
serta novel Sunda. Hal tersebut memancing perpustakaan keliling dengan cara
dipikul.
Konsumennya
ibu rumah tangga, kadang juga kakek
nenek nimbrung dengan cara minta tolong
pada cucu / cicit untuk membantu membacakannya. Tetapi ini hanya pembaca
luberan, karena penggemar bacaan Suda mayoritas adalah kawula muda.
Demam komik
dan novel Sunda, ditangkap Joessrul sebagai peluang, karena satu buku biasa
dibaca 4 sampai 5 orang dalam satu
keluarga serumah.
“Saya
terdorong menggantikan cucu dan cicit, dengan membuat program pembacaan dongeng
Sunda melalui radio,” aku Joessrul.
Lahir dari
gagasan yang remeh, tak terduga pendengar Radio Sinta Buana cukup dibilang luar
biasa. Sisi lain, ternyata mendorong lahirnya pendongeng handal seperti Wak
Kepoh, Mang Djaya dan yang lain.
Kedua
pendongeng tersebut memliki kehebatan yang berbeda. Wak Kepoh lihai berpindah
suara dari tokoh perempuan ke laki-laki, juga suara anak ke orang dewasa.
Selincah Abas Ch di Radio Retjo Buntung.
Sementara
Mang Djaya yang sekaligus pemilik Radio Linggarjati Utama, pandai mendramatisir
cerita. Pergantian suasana dari sedih ke gembira, marah ke suasana santun
nyaris sempurna. Hal ini membuat pendengar radio ketagihan.
Dongeng
Sunda yang disiarkan radio mengubah peta budaya dari masyarakat yang suka
membaca ke masyarakat yang gemar medengarkan. Berbekal ketajaman telinga, menurutnya
pendengar lebih memiliki kebebasan berimajinasi sambil mengerjakan sesuatu.
Kota Gudek
dan Kota Kembang ada kesamaan, sama-sama melestarikan budaya dongeng secara
kontekstual.
Khusus masyarakat
Yogyakarta, semangat itu makin nyata ketika Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB) DIY menggelar lomba mendongeng kategori siswa sekolah dasar, 13-14 September
2016 besok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda