Senin, 12 September 2016

BUDAYA TUTUR MULAI LUNTUR?



1.   DONGENG, PADA DEKADE 60-AN PERNAH BERJAYA

Sikitar Tahun 1960-an guru Sekolah Rakyat (SR) sekarang SD, seminggu sekali berkewajiban mendongeng di depan anak-anak. Guru kelas I hingga kelas IV, tak terkecuali. Kala itu dongeng menjadi salah satu pelajaran favorit yang ditunggu para siswa.

“Salah satu SR di Kecamatan Patuk, sekarang namanya SD Buner II, punya guru yang fasih mendongeng. Ibu Tukilah, demikian nama  guru yang pinter membawakan sejumlah dongeng itu,” kenang MH Mudilestri, pegiat perempuan, di rumahnya, Minggu 11/9/2016.

Yang Ibu Tukilah bawakan, lanjut Mudilestari, pasti dongeng melankolis bertema ketidakadilan seperti Mawar Menur dan Melati, atau Bawang Merah Bawang Putih. Jarang dia mendongeng soal Kancil Nyolong Timun. Cerita yang disebut belakangan biasa dibawaan oleh guru laki-laki.

Dihimpun dari berbagai sumber, Mulai 18 Februari 1960 hingga 6 Juni 1968 Mentri pendidikan secara berturut-turut oleh Presiden Soekarno dipercayakan kepada: Priyono, Sarino Mangun Pranoto, serta Sanusi Hardjadinata.

“Saya menduga, kebijakan Mentri Sarino Mangun Pranoto, tokoh Tamansiswa kala itu, berpengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah, sehingga guru SR diwajibkan membawakan dongeng di depan kelas,” ulas Mudilestari.

Dongeng, sebagai karya sastra, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk karkter siswa. Penokohan cerita yang cenderung hitam putih, menggiring para murid untuk berpihak kepada kebenaran.

Tetapi masuk ke kurun waktu 1970-an, kritik Mudilestari, tidak ada lagi guru yang mendongeng di depan kelas. Termasuk sampai ke Orde Reformasi.

“Masa jaya kebiasaan mendongeng haya sekejab. Dewasa ini tergilas oleh budaya layar kaca, yang bertubi mempertotonkan tele novela produk / budaya manca,” ujar Mudilestari prihatin.

Menurutnya dua hal yang menjadi penyebab mengapa kebiasaan mendongeng berhenti. Pertama, Pemerintah tidak ada kepedulian untuk itu. Peran guru sebagai pendongeng digantikan oleh perpustakaan sekolah. Dianggap, murid kelas I SD sudah cukup matang untuk memahami isi dongeng tertulis. Murid, dalam hal ini kehilanan guru dengan gerak  mimik tertentu yang membantu pemahaman cerita.

Kedua, simpul Mudilestari, orang tua tidak lagi memiliki empati. Hampir mirip dengan Pemerintah, mereka menguasakan penuh kepada sekolah plus stasiun TV yang royal memutar filem cerita.

Ketika terjadi penyimpangan karakter tak terkendali, baru mereka terkaget-kaget. Dia menunjuk contoh kongkrit, Megawati Sukarno Putri mengeluhkan perilaku anak muda yang dengan enteng membuly Presiden.

"Sekarang saya lihat anak muda sopan santun nggak ada. Di medsos kebal aja nggak. Presiden sendiri dijelek jelekin. Saya mikir kita ini negara apa toh," kutib Mudilestari sebagaimana dilansir media Pusat.

2.   YOGYAKARTA PIONIR PEMBACAAN BUKU

“Keheranan yang dilontarkan Megawati rasanya merupakan kutukan Zaman. Jokowi, dengan Nawacita memang bertekad membangun karakter bangsa. Sayang, dia tidak fasih benar bagaimana agar setiap warga negara punya sopan santun,” kata Untung Nurjaya, mantan anggota DPRD Gunungkidul.

Dongeng, yang di era 1960-an harus diceritakan live di depan para murid, untuk yang pertamakalinya diubah menjadi cerita dengan format audio melalui siaran tunda RRI Nusantara II Yogyarta.

Sebagai kota pelajar sejak tahun 1970 menurut catatan Untung Nurjaya, pernah mempelopori memprogram pendidikan karakter dengan  cara medongeng / membaca cerita lewat media elektroik.

Satiun RRI Nusantara II Yogyakarta melakukan siaran ulang pembacaan buku. Tokoh yang dikenal kala itu adalah Ki Hadi Sukatno guru Taman Siswa yang lahir di Delanggu, Klaten 26 Mei 2015.

Saban kamis malam, pukul 23.00 hingga 24.00 WIB, ribuan penggemar dongeng / cerita Pak Katno tidak beranjak dari pesawat radio.

Kelebihan Pak Katno di sampng narasi, ada pada dialog antar tokoh. Dia fasih menirukan suara orang tua, perempuan, maupun anak-anak. Setelah beliau wafat 10 November 1983, pembacaan buku nyaris vakum.

Ada generasi penerus yang melebihi kemampuan Pak Katno, yakni Abas Ch, yang mengudara di Radio Retjo Buntung. Sayang, Abas pembaca dongeng Weri Siswa, terjemahan serial Sun Go Kong ini  mati muda.

Kehilangan Pak Katno dan Abas Ch, langit Yogyakarata relatif ‘sepi’ dean cemplang. Segenap pandemen dongeng atau serial pembacaan cerita lewat radio tidak hanya kecewa, tetapi kehilangan rantai budaya yang mengagumkan.

Merujuk radio swata yang ada di Kabupaten Gunungkidul kiranya sulit diharap, bahwa mereka tergerak melakukan meneruskan kultur seperti RRI dan Retjo Buntung.

Membuka berbagai literatur, menjelang gerakan reformasi satu satsiun radio swasta di Jawa Barat mencoba membangkitkan budaya dongeng. Kultur mulai membaik.

Dongeng, sebagai karya sastra, menurut Asdi S. Dipodjoyo, pengamat sekaligus ahli cerita rakyat, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNY, memuat pesan moral yang kuat.

“Dengan banyak mendengarkan dongeng, sedikit demi sedikit kalbu pendengar terlatih memilah hal yang haq dang yang batil, yang benar dan yang salah,” kata dia pada kesempatan memberi kuliah kepada mahasiswanya.

Dalam karya sastra, apa pun bentuk dan formatnya, selalu tersirat pesan istimewa, yang pada gilirannya bisa memperhalus budi pekerti.
 
3.   DARI KOTA PENDIDIKAN KE KOTA KEMBANG

Kehebatan Pak Katno dan Abas Ch merupakan cerita romantis bagi para penggemar pembacaan buku di Kota Gudek. Tahun 1995, Bandung si Kota Kembang menggeliat. Dongeng Sunda mulai digarap, bukan oleh pemerintah, tetapi swasta.

Dongeng Sunda,  salah satu bentuk produksi siaran dikembangkan oleh radio swasta. Perjalanannya unik. Proses kelahirannya tiba-tiba tanpa perencanaan dan konsep. Setelah disadari, bahwa masyarakat Sunda terpantau oke berikutnya dilakukan penataan

Tahun 1995, Joessrul bos Radio Sinta Buana, Bandung mengatakan, Dongeng Sunda mulai pudar seiring dengan perkembangan jaman.

“Memasukkan Dongeng Sunda dalam bentuk produksi siaran, apa pun alasanya kala itu dinilai lucu, bahkan seperti tidak masuk akal,” aku Joessrul satu ketika.

Menurut pria usia 40-an yang pernah menjabat sebagai Ketua PD PRRSNI Jawa Barat 1995 ini, Dongeng sunda di radio tidak  lahir dari pemikiran hebat.

Tahun 1960-an, kata dia, masyarakat Jawa Barat pernah demam bacaan. Pilihannya komik serta novel Sunda. Hal tersebut memancing perpustakaan keliling dengan cara dipikul.

Konsumennya ibu rumah tangga, kadang juga  kakek nenek  nimbrung dengan cara minta tolong pada cucu / cicit untuk membantu membacakannya. Tetapi ini hanya pembaca luberan, karena penggemar bacaan Suda mayoritas adalah kawula muda.

Demam komik dan novel Sunda, ditangkap Joessrul sebagai peluang, karena satu buku biasa dibaca  4 sampai 5 orang dalam satu keluarga serumah.

“Saya terdorong menggantikan cucu dan cicit, dengan membuat program pembacaan dongeng Sunda melalui radio,” aku Joessrul.

Lahir dari gagasan yang remeh, tak terduga pendengar Radio Sinta Buana cukup dibilang luar biasa. Sisi lain, ternyata mendorong lahirnya pendongeng handal seperti Wak Kepoh, Mang Djaya dan yang lain.

Kedua pendongeng tersebut memliki kehebatan yang berbeda. Wak Kepoh lihai berpindah suara dari tokoh perempuan ke laki-laki, juga suara anak ke orang dewasa. Selincah Abas Ch di Radio Retjo Buntung.

Sementara Mang Djaya yang sekaligus pemilik Radio Linggarjati Utama, pandai mendramatisir cerita. Pergantian suasana dari sedih ke gembira, marah ke suasana santun nyaris sempurna. Hal ini membuat pendengar radio ketagihan.

Dongeng Sunda yang disiarkan radio mengubah peta budaya dari masyarakat yang suka membaca ke masyarakat yang gemar medengarkan. Berbekal ketajaman telinga, menurutnya pendengar lebih memiliki kebebasan berimajinasi sambil mengerjakan sesuatu.

Kota Gudek dan Kota Kembang ada kesamaan, sama-sama melestarikan budaya dongeng secara kontekstual.

Khusus masyarakat Yogyakarta, semangat itu makin nyata ketika Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY menggelar lomba mendongeng  kategori siswa sekolah dasar, 13-14 September 2016 besok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...