1. PENEGAK HUKUM JUGA PERLU DI 'DOR'
Penerapan eksekusi mati untuk
penjahat narkoba tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Pasalnya, perdagangan
barang haram ini berada di tangan mafia kelas dunia. Di samping untuk
mengumpulkan dolar, jualan narkoba juga untuk menghancurkan spesies manusia oleh
pasukan elit bernama iblis.
Penegakan hukum di Indonesia masih
digadang menimbulkan efek menakutkan bagi para bandar, kurir, maupun pengguna
narkoba. Realitasnya harapan itu kosong.
Presiden Joko Widodo, dalam rapat
terbatas, secara tak langsung terheran-heran, karena jumlah pelanggar hukum di
ranah narkoba, masih atau makin banyak. Eksekusi mati, penjara seumur hidup,
pernjara 20 tahun, bukan satu hal yang menakutkan.
Slamet SPd. MM, anggota DPRD DIY
menyarankan, seharusnya pemerintah Indonesia
melakukan pengawasan yang ketat terhadap Lembaga
Pemasyarakatan.
“Karena pada kenyataannya hampir
sebagian besar bisnis narkoba dijalankan dari dalam penjara, kata Slamet, Sabtu 24/9/2016.
Menurut dia,
Pemerintah harus memberantas mafia
narkoba. Tanpa memberantas mereka, 1000 orang dihukum mati pun gak
akan membuat jera apalagi
takut.
Narkoba, papar Slamet, sudah merasuk ke segala lini kehidupan,
pemerintahan, politisi, artis, konglomerat, bahan sudah menjalar ke tubuh aparat keamanan TNI dan Polri,” tunjuknya.
“Saya ada ilustrasi meski
gak lucu-lucu amat. Terdakwa narkoba yang mau dihukum
mati, eh dibela-belain karena dia sudah tobat, sudah
mau ngaji, sudah khatam alquran, jidatnya sudah gosong-gosong,
janggutnya sudah panjang, sudah pakai jubah. Di situ kita terjebak pada simbul-simbul. Akhirnya
bisa melemahkan penegakan hukum, kalau betul tobat tak masalah. Lha yang dibelain itu masih bisa bisnis dari dalam penjara. Gendheng to,” beber Slamet.
Menangkap pengedar dan pemakai
narkoba itu gampang, lanjut
Slamet, buktinya hampir tiap hari terjadi penangkapan dan disiarkan di televisi nasional.
“Penegak hukum / Penjaga hukum sekali-sekali ada yang tertangkap kemudian dieksekusi mati. Elok kan, di
dalam penjara kok iso dodolan pil haram,” pungkas Slamet setengah serius,
setengah kelakar.
2. KONSISTEN PADA HUKUM ‘DOR’, PASTI BERDAMPAK
Berdasarkan
data Direktorat Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, BNN merilis, bahwa sampai
dengan pertengahan Desember 2015 silam, terdapat 55 orang terpidana kasus narkotika yang divonis hukuman mati.
Empat belas (14) orang diantaranya sedang menunggu eksekusi.
Budi Utama, politisi PDI Perjunan yang mantan Ketua
DPRD Gunungkidul bicara banyak soal hukuman mati di era Pemerintahan Joko
Widodo. Berikut petikan wawancara infogunungkidul.com dengannya.
INFO: Indonesia menjadi sasaran empuk untuk
pemasaran benda haram berjenis narkoba. Pemerintahan Jokowi gencar melakukan
pemberanasan melalui gebragan temak mati, tetap kecenderungan penyalahgunaaan
tambah marak. Bagaimana Anda melihat hal ini?
BUDI: Jumlah penduduk Indonesia yang 251 juta dengan tingkat pendidikan yang masih rendah dan mudah dipengaruhi adalah pasar potensial bagi para
bandar narkoba. Dulu, 10 tahun silam, Indonesia hanya sebagai lalu lintas, sekarang beralih menjadi target market. Ketika usaha pemberantasan narkoba diintensifkan dengan berbagai penegakan hukum yang keras, maka penyalahgunaan
narkoba seolah makin marak.
INFO: Apakah
ini berarti bahwa Pemerintahan sebelumnya tidak ada keseriusan dalam memerangi Narkoba,
sementara Jokowi super serius?
BUDI: Ya. Ini menunjukan Pemerintahan
Jokowi ada keseriusan dalam melawan
infiltrasi budaya melalui narkoba. Ini menjukkan kesungguhan pemerintahan Jokowi. Karena sesungguhnya penyalahgunaan yang terjadi di pemerintahan sebelumnya jauh lebih banyak
dibanding yang ditemukan saat ini.
INFO: Anda punya bukti?
BUDI: Apa yang dikatakan Fredy Budiman menunjukan bahwa ada
oknum aparat yg ikut bermain. Pernyataan ini juga sejalan dengan banyaknya oknum aparat yang ketangkap baik saat menggunakan
maupun aktif dalam perdagangan narkoba. Artinya bisa jadi usaha-usaha yang dilakukan sebelumnya masih ada pembiaran sehingga banyak kasus narkoba yang tidak terungkap. Sebut saja orang mencari kutu di kepala jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, bahkan kemudian menggunakan alat
kaca pembesar, maka penyisiran bisa mengungkap semua kutu yang ada. Bukan sekedar kutu yang sial karen pas menggigit. Kepala t gatal kemudian digaruk kena dia si kutu malang.
Bukan begitu.
INFO: Tetapi rasanya hukuman dor tetap tidak ada
efek?
BUDI: Sebuah penindakan pasti akan menimbulkan efek jika ada konsistensi. Kelemahan aparat kita selama ini kan hangat-angat
tahi ayam. Pada saat digalakan penindakan ya intensif. Tetapi begitu yan
merintah meleng sedikit penindakan itu menjadi melemah. Hal itu dipahami benar oleh para
pelaku perdagangan narkoba.
INFO: Anda
bisa memberi gambaran sedikit tentang postur perdagangan narkoba?
BUDI: Perdagangan narkoba merupakan lahan yang sangat basah dalam mencari uang. Orang-orang yang terlanjur terjerat di sini umumnya sulit untuk melepaskan diri. Mereka, pasti akan selalu mencari celah yang bisa dilewati. Apalagi kewilayahan Indonesia yang
terdiri dari kepulauan. Ini memberi kemudahan bagi mereka untuk melakukan aksi.
INFO: Kapan hukuman dor akan berdampak?
BUDI: Hukuman mati yang diterapkan secara konsisten pasti setahun dua tahun kedepan akan tampak hasilnya.
INFO: Kalau satu, dua atau lima tahun kedepan tereksekusi
mati justru mencapai ratusan orang, apa bisa dikatakan, Jokowi gagal menumpas narkoba?
BUDI: Presiden Joko Widodo sedang mengajarkan kepada masyarakat untuk taat
hukum tanpa kompromi. Ini bagian dari proses revolusi mental. Setahu saya Jokowi dari walikota menjadi gubernur dan sekarang presiden, belum pernah menyebut dirinya berhasil. Apalagi keberhasilan itu kemudian dikomparasikan dengan pemerintahan sebelumnya. Pernyatataan keberhasilan itu datang dari masyarakat. Dalam era demokrasi adalah sah-sah saja. Paham beliau Pemerintah itu
melaksanakan undang-undang dengan sebaik-baiknya. Orang boleh senang, orang boleh tidak senang, tetapi undang-undang harus ditegakkan apa adanya, bukan kemudian diplinti-plintir karena kepentingan tertentu.
INFO: Terkait ketidaktakutan terhadap hukuman mati, apa bisa disebutkan, bahwa
para bandar, kurir, pengedar, lebih menyayangi dolar ketimbang nyawa sendiri?
BUDI: Sudah saya katakan di depan, yang terlanjur
masuk jaringan atau jeratan gurita sulit untuk lepas darinya.
3. HUKUM ‘DOR’
BERJALAN, PENCEGAHAN DILAKSANAKAN
Meski bukan
saudara kandung, dari sisi materi, narkoba adalah saudra sepupu dengan minuman
keras. Secara sosiologis narkoba muncul belakangan, namun dalam perkembangan,
peredaran, serta pengaruhnya lebih menggigit dan sangat meresahkan.
Negara
sebesar Indonesia berpenduduk 251 juta,
yang sebagian generasi mudanya cerdas,
dianggap merupakan ancaman serius bagi kompetisi SDM negara lain. Indonesia, oleh sebab itu,
perlu digempur.
Menyerang
negeri yang oleh Multatuli disebut sebagai Jamrut Katulistiwa, tidak perlu
menggunakan senjata, sebagaimana terjadi pada perang dunia pertama dan kedua.
Menghancurkan Indonesia mudah, melalui upaya perubahan perilaku generasi muda.
Referensi
sejarah menunjukan, bagaimana seorang Christiaan Snouck Hurgronje sarjana Belanda, juga ahli bahasa, menghancurkan Serambi Mekah Alias Aceh melalui sektor kebudayaan.
Analog
dengan jejak sejarah, narkoba diciptakan bukan hanya untuk kepentingan bisnis
semata, tetapi ada kentingan politik.
Negara,
sebab itu turun tangan, secara serius membentuk lembaga Badan Narkotika
Nasional (BNN) yang ditugasi khusus menghalang-halangi, bandar, kurir,
pengedar, serta pengguna narkoba.
“Memerangi
narkoba dengan UU dalam hal ini hukuman mati, tidak perlu dibantah karena di
dalamnya ada niat baik menyelamatkan generasi dari ancamam degradasi moral,”
kata Ari Siswanto, Minggu, 25/9/2016.
Ustad muda
kader PKS yang kini duduk di DPRD Gunungkidul ini menyebutkan, langkah kuratif /
penindakan adalah penting. Tetapi prefentif / pencegahan tidak kalah pokok.
Mencegah orang masuk penjara karena narkoba sama-sama urgennya dengan
merehabilitir pecandu yang keburu kejeblos dalam jeruju besi.
Dalam hal
pemberantasan narkoba, kata Ari Siswanto, orang tidak siap untuk berbeda
pendapat. Yang sepaham hukuman ‘dor’
ngotot bahwa dia yang paling benar. Yang setuju pencegahan, merasa dirinya
paling hebat, paling lurus, paling pionir.
“Centang
perenang seperti itu tidak akan menyelesaikan persoalan tetapi justru menambah
masalah, karena orang hanya rebut benar
mempertahankan pendapat. Menurut hemat saya, hukum ‘dor’ biar berjalan,
pencegahan terus dilaksanakan,” ujarnya.
Ari Siswanto
mengingatkan, peredaran narkoba merupakan wajah baru dari imperialime moderen
di bidang kebudayaan. Menurutnya, ini perlu dilawan dari sisi kebudayaan.
“Kita berada
di wilayah NKRI, tentu saja memiliki seribu, bahkan sejuta jenis cara melawan
narkoba. Yang Islam, yang Kristen, Katolik, Hindu, Buda, Jawa, Madura, Bugis,
Papua, memiliki kiat yang berbeda, dengan tujuan yang sama yakni melawan narkoba. Tak cukup berhenti pada baju
dan kaos bertuliskan gerakan anti narkoba, tetapi penting diwujudkan dalam implementasi
moral, sesuai budaya masing-masing,” pungkas dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda