Tahun 2014, kualitas demokrasi benar-benar sedang dipertaruhkan. Klimaknya,
hari Selasa tanggal 22 Juli 2014, pukul
20.30 WIB . Setidaknya 60 juta pemilih sendu (sedih), sementara 70 juta pemilih gemuyu (tertawa). Kesedihan 60
juta pemilih, berubah menjadi residu politik yang menjadi tanggung jawab
mahkamah Konstitusi (MK).
Pasangan capres-cawapres
No.Urut 1 menarik diri dari proses rekapitulasi penghitungan perolehan suara. Pasangan
No. Urut 2 menerima map warna coklat muda berisi penetapan calon presiden terpilih
dengan selisih perolehan suara 10 juta lebih atau 6,30%.
Berbagai komentar ditujukan
pada KPU pun bermunculan. Yang kontra, nyaris memaki. Yang pro memuji setinggi
langit. Saya masuk golongan kontra
banget, tidak, pro serius, juga bukan.
KPU periode ini memang
menunjukkan kerja yang sangat lamban. Flas back, 9 April 2014, KPU nyaris minta perpu ke SBY,
gara-gara limit waktu penenetapan pileg
hampir habis, sementara proses rekapitulasi suara kedodoran.
Labih dari sekedar kerja
yang lamban dengan alasan yang dicari-cari, dan dibenar-benarkan, pada pelaksanaan pileg 9 April 2014 KPU
menyisakan sampah politik yang kemudian dilempar ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Terulang pada pilpres 9
Juli 2014. MK kebagian tidak hanya sampah. Meminjmam istilah Ketua KPU Husni Kamil
Manik, MK diberi seabreg residu politik.
Di dalam UU Pemilu memang
dimungkinkan, adanya kewenangan MK untuk mendaur-ulang residu politik. Tetapi
pada hemat saya, melempar residu, endapan, atau apalah namanya ke MK,
menunjukkan bahwa UU yang menata pileg maupun pilpres adalah tidak sempurna.
Kekurangsempurnaan UU
pileg dan pilpres, secara tidak langsung adalah tanggungjawab seluruh rakyat. Oleh
sebab itu sebagai bagian dari jutaan rakyat, saya ikut memiliki tanggungjawab
tersebut.
Terkait dengan kisruh pemilu,
pokok tudingannya terletak pada kecenderungan bertindak curang. Itu bisa diantisipasi dengan cara sederhana. KPU
perlu menyampaikan Form C, terutama C1, kepada masing-masing kontestan.
Kongkritnya, ini sekedar
contoh: Prabowo menerima 2 (dua) C1, satu miliknya sendiri, satu yang lain
milik Jokowi. Begitu pula berlaku sebaliknya.
Lo..... Kontestan
pastinya sudah ada C 1 dari saksi, buat apa? Untuk komparasi. Satu kontestan memikiki 3 (tiga) berkas C1 sekaligus.
selembar C1 dari saksi
dan dua lembar C1 dari penyelenggara pemilu. Tiga C1 bisa disanding dan kemudian
dibandingkan.
Saya yakin, bahwa dengan
solusi sederhana, konflik, kecurigaan, tudingan miring ke KPU bisa hilang. Karena
C1 kiriman saksi dengan C1 kiriman KPU sama, apa yang harus dipersoalkan? Kecurangan
macam apa yang musti ditarik-tarik ke meja MK?