Sekelompok intelektual berkumpul,
ngopi di hotel berbitang. Mereka asyik diskusi. Tetapi menurut pengamatan saya,
tidak tepat jika dikatakan diskusi. Mereka lebih pas kalau disebut ngrumpi.
Saya kenal betul wajah
mereka, karena sering muncul di layar kaca. Nama mereka saja yang saya
lupa-lupa ingat. Di lobi hotel malam itu, yang jelas ada 8 (delapan) orang.
Makin larut, ngrumpinya
berubah menjadi perang mulut. Seru, mereka bersitegang. Mereka saling kalim,
bahwa dirinya yang paling jago dalam hal berbuat kebajikan.
“Atas nama demokrasi job
yang saya tangani mustahil salah,” kata tokoh berbaju biru yang didukung pria
berbaju kotak-kotak.
Tak mau kalah, priya
ganteng berdasi merah mengatakan hal yang sama. “Kami punya pengalaman
bertahun-tahun,” kilahnya memberi alasan.
Tak pelak, wartawan dari berbagai
media sibuk meliput. Mereka berlomba
menyiarkan hasil rumpian hot, gaya 8 intelektual malam itu.
Tiba-tiba terjadi insiden
kecil, satu di antara 8 pengrumpi nyaris dilempar dari lantai tiga,
gara-gara bersikukuh tak mau mengubah
jalan pikirannya.
Selamat, peristiwa tragis
tak terjadi, karena Polisi bertindak cepat melerai, yang sejak sore
berjaga-jaga di lokasi itu.
Rumpian itu pun menemui jalan
buntu. Dalam kepala 8 orang intelektual tersebut tetap terpateri bahwa mereka
tidak melakukan kesalahan apa pun.
Dan rumpian bubar
menjelang pukul 00.00 WIB, 10 Juli 2014,
selepas pilpres 9 Juli 2014.
Di lobi yang sama 16
malaikat pencatat amal baik dan amal buruk berdiskusi. Kesimpulannya, mereka
menandatangi nota kesepakatan.
Karena malaikat pencatat
kebaikan kehabisan buku, maka sisa halaman buku pencatat keburukan sementara
digunakan untuk mencatat kebaikan 8 orang
intelektual, yang sudah pada ngedengkur di kamar hotel.
Tiba-tiba, di antara
malaikat itu ada yang usul. “Jangan gegabah Bro.... kita tunggu tanggal 22 Juli
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda