Sebuah stasiun TV swasta
nasional menyiarkan program Damai Indonesiaku. Tetapi yang terjadi adalah
paradok, Gelisah Indonesiaku, terutama
setelah episode pemilihan presiden 9 Juli 2014.
Gejolak, seberapa pun ruwet
dan panas, patut disikapi sebagai bagian dari resiko kebinekaan. Jutaan jiwa begitu kangen terhadap wajah Indonesia dalam
format peradaban baru.
Soekarno sampai SBY,
telah berbuat banyak untuk negeri tercinta. Tetapi rakyat masih juga berharap. Sebut
mereka masih bermimpi, ingin menikmati rasa, lebih dari apa yang mereka telah
perbuat.
Setidaknya, ingin
menikmati peradaban yang pernah dilantukan Frangky And Jhean, dalam album
cantik, “Rembulan
di malam hari. Lelaki diam seribu kata. Hanya memandang. Hatinya luka, hatinya
luka.”
Saya harus indentifikasi,
Lelaki luka itu adalah Prabowo Subianto
dan Joko Widodo. Dua-duanya seharusnya diam seribu kata. Mulat sarira hangrasa wani. Dua lelaki itu sepatutnya sadar, bahwa di
hatinya ada keprihatinan, demi melihat
wajah ibu pertiwi tercabik-cabik.
Bisa, bahkan sangat
dipahami, bahwa Prabowo Subianto dan Joko Widodo sama-sama memendam amor patria
(cinta tanah air), terlepas dari bisikan nafsu yang mengelelilinginya.
“Udara, terasa berat. Karna asmara sesakkan
dada. Ketika Cinta, terbentur dinding.” Itulah raut prabowo dan Joko
Widodo, seharusnya.
Tetapi amor patria kedua
tokoh nasional ini terganggu karena munculnya
8 (delapan) makhluk ajaib, bernama lembaga survey.
Biarlah. Kepada mereka,
duaratus limapuluh juta nyawa menaruh harapan. Bukalah pintu hatimu, demikian pinta
rakyat Indonesia,
yang slalu membeku. Agar kulihat lagi, rembulan di wajahmu. Jangan sembunyikan,
hatimu padaku.
Harapan sederhana, wajah peradaban
baru itu semoga tidak sebatas berganti silokon. Presidenku, siapa pun dia
adalah prototipe Lelaki dan Rembulan. Menerangi, tanpa membuat hati rakyat menjadi
bara. Apalagi menderita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda