Mereka menganjurkan kami harus selalu mencuci tangan, karena mereka telah terbiasa cuci tangan terhadap tanggungjawab yang dipikulkan kepadanya.
Mereka meminta kami mengenakan masker, karena selama ini mereka memang rajin mengenakan topeng. Mereka membujuk agar kami menjaga jarak, karena mereka tidak paham seluk beluk kehangatan silaturahmi.
Mereka melarang kami hidup bergerombol, karena mereka memang mendewakan individualisme.
Mereka mengunci dan mengurung kami di dalam rumah, karena mereka ingin leluasa bergerak di luar rumah untuk membangun menara kepentingan.
Mereka menyatakan siap disuntik meski dadanya gemetar karena mereka ingin hidup sendiri dan kami mati lebih awal. Mereka tidak lebih baik dari para pengecut dan pecundang.
Kami, di mata mereka dianggap hanya merepotkan dalam menggarong perut bumi. Mereka tidak paham, para penggarong itu menari-nari melingkari istana yang mereka bangun atas nama demokrasi.
Mereka jarang mensyukuri tujuh surga dunia seperti diceritakan Ki Dalang Purbo Asmoro. Tujuh surga dunia itu berpusat pads wudel, zakar, dubur, hidung, mata, telinga, serta mulut.
Wudel surga dunia pertama dirasakan saat manusia bisa tidur pulas tanpa gangguan.
Dan pada saat zakar memancarkan air mani di situlah manusia menikmati surga dunia kedua.
Surga dunia ketiga berada di dubur. Semua manusia akan merasa lega setelah buang hajat besar.
Surga dunia keempat pintunya berada pada hidung. Ketika penciuman hilang layaknya orang terserang Covid19, dipastikan ketidaknyamanan sangat menyiksa.
Surga kelima berada di mata. Bisa melihat segenap keindahan dan membedakan siang serta malam, gelap dan terang merupakan kenikmatan yang sangat luar biasa.
Pintu surga keenam ada di telinga. Ini menyebabkan manusia bisa menikmati keindahan saat mendengarkan suara serba harmonis dan menyenangkan.
Surga ketujuh mapan di mulut. Pusat keelokannya terletak di usus. Begitu rupa manusia bisa menikmati lezatnya aneka kuliner yang sari patinya menjadi kekuatan hidup dalam pengembaraan sekejab.
Segenap surga dunia adalah kemahabesaran Sang Pencipta, dan manusia jarang menghargainya. Itulah kebebalan manusia. Sekaran atau esok sungguh diancam dengan azab yang pedih.
(Bambang Wahyu Widayadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda