Anggoro Widjojo. Ft. Republika |
Pada masa orde baru, nyaris terjadi revolusi sosial. Orde reformasi,
tampil dengan awal garis moral yang jelas:
sikat habis KKN. Sepuluh tahun terakhir, garis itu luntur, menyusul gerakan
revolusi moral (Revmo). Yang terkhir (revmo) lebih mengerikan. Dengan berbagai upaya,
banyak politisi kebingunan menangkis revmo, yang dimainkan oleh KPK.
Ada yang ganjil
terkait tertangkapnya Anggoro Widjoyo (AW). Agustus 2009, dia ditetapkan
sebagai tersangka. Tanggal 19 Desember 2013 surat buron dilayangkan ke Ministry
of Public Security (MPS) Cina dan diteruskan ke Public Secutiry Bureau (PSB). Tanggal
27/1/2014 Anggoro dibekuk PSB. Sementra Bambang Wijoyanto mengatakan, penangkapan
Anggoro, tingkat kesulitannya sekelas Edy Tanzil (ET). Ada skenario baru untuk
membelokkan isu besar korupsi di negeri ini.
KPK sempat menggeledah kantor PT
Masaro Radiokom milik AW Juli 2009. Pada
Agustus tahun yang sama, AW ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap,
terkait dengan pengajuan anggaran sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Departemen
Kehutanan. Belum sempat dicekal, keburu AW kabur ke luar negeri.
AW berkeliaran di luar negri
sekitar kurang lebih 40 bulan. Saya heran menyimak pernyataan Bambang Wijoyanto, menangkap AW sama sulitnya
dengan menangkap ET. Setengah tidak
percaya. Bahkan saya apriori, KPK terkesan tidak serius mengejar AW.
Fakta cukup jelas. Agustus 2009 AW
kabur, surat buron disebar pada 19/1/2013.
Ternyata AW tak sekaliber ‘belut’ ET.
Terbukti dari 19/12/2013 hingga 27/1/2014 itu hanya dalam hitungan 39 hari, AW sudah teringkus. Kenyataan ini mementahkan
pernyataan Bambang Wijoyanto.
Selebihnya, adalah sekaligus kritik
tajam untuk Kemenkum dan HAM di bawah Amir
Syamsudin. Mengapa surat buron tidak disebar jauh hari, atau setidaknya setelah
Amir menginjakkan kaki di Gedung Kemenkum dan HAM? Ada apa dengan Amir?
Menyebar surat buron ke negeri tirai bambu karena ada pesanan?
Saat digiring polisi ke gedung KPK
dengan kedua tangan diborgol, AW bungkam. Berjalan menunduk, sepatah pun tidak
menjawab pertanyaan wartawan. Penampilan AW berbeda dengan banyak tersangka
yang digelandang KPK: murah senyum, sesekali melampaikan tangan.
Saya menduga, AW adalah ‘buron pesanan’. Artinya, dia ditangkap untuk menambah
daftar panjang pekerjaan KPK. Lebih penting dari sekedar itu, terpsosesnya AW
di meja KPK adalah untuk mengalihkan perhatian
publik dari sebuah isu besar bernama korupsi yang sedang melanda negeri ini.
Hampir pasti, akan segera menyusul
sejumlah ‘pesakitan’ baik pelarian maupun yang masih di dalam negeri, terjaring oleh KPK. Negeri ini sedang
dirundung malang. Sejumlah politisi sibuk menghidar dari jeratan KPK. AW dan juga
yang lain, kelak akan berdiri sebagai tameng, menyelamatkan politisi korup.
Semakin banyak AW, semakin asyik KPK memainkan palu. Dan tentu saja semakin
jauh politisi korup tersentuh oleh tangan KPK.
Pada era orde baru, nyaris terjadi
revolusi sosial. Era reformasi, peluang revolusi
sosial adalah kecil. Yang mulai namapak adalah revolusi
moral. Ini sangat ditakuti oleh para politisi korup. AW, untuk
sementara terposisi sebagai ‘buron pesanan’,
yang dianggap bisa memperlambat gerakan revolusi moral. Politisi kotor akan
tetap kelihatan bersih dengan menjebak orang-orang bodoh seperti AW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda