Sabtu, 01 Februari 2014

ANGGORO WIDJOJO KOPUPTOR BODOH, 'DIA BURON PESANAN'

Anggoro Widjojo. Ft. Republika

Pada masa orde baru, nyaris terjadi revolusi sosial. Orde reformasi, tampil dengan awal garis moral yang jelas: sikat habis KKN. Sepuluh tahun terakhir, garis itu luntur, menyusul gerakan revolusi moral (Revmo). Yang terkhir (revmo)  lebih mengerikan. Dengan berbagai upaya, banyak politisi kebingunan menangkis revmo, yang dimainkan oleh KPK.

Ada yang ganjil terkait tertangkapnya Anggoro Widjoyo (AW). Agustus 2009, dia ditetapkan sebagai tersangka. Tanggal 19 Desember 2013 surat buron dilayangkan ke Ministry of Public Security (MPS) Cina dan diteruskan ke Public Secutiry Bureau (PSB). Tanggal 27/1/2014 Anggoro dibekuk PSB. Sementra Bambang Wijoyanto mengatakan, penangkapan Anggoro, tingkat kesulitannya sekelas Edy Tanzil (ET). Ada skenario baru untuk membelokkan isu besar korupsi di negeri ini.

KPK sempat menggeledah kantor PT Masaro Radiokom milik AW  Juli 2009. Pada Agustus tahun yang sama, AW ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap, terkait dengan pengajuan anggaran sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. Belum sempat dicekal, keburu AW kabur ke luar negeri.

AW berkeliaran di luar negri sekitar kurang lebih 40 bulan. Saya heran menyimak pernyataan  Bambang Wijoyanto, menangkap AW sama sulitnya dengan menangkap ET.  Setengah tidak percaya. Bahkan saya apriori, KPK terkesan tidak serius mengejar AW.

Fakta cukup jelas. Agustus 2009 AW kabur, surat buron disebar pada  19/1/2013. Ternyata AW tak sekaliber  ‘belut’ ET. Terbukti dari 19/12/2013 hingga 27/1/2014 itu hanya dalam hitungan 39 hari,  AW sudah teringkus. Kenyataan ini mementahkan pernyataan Bambang Wijoyanto.  

Selebihnya, adalah sekaligus kritik tajam untuk Kemenkum dan HAM di bawah  Amir Syamsudin. Mengapa surat buron tidak disebar jauh hari, atau setidaknya setelah Amir menginjakkan kaki di Gedung Kemenkum dan HAM? Ada apa dengan Amir? Menyebar surat buron ke negeri tirai bambu karena ada pesanan?

Saat digiring polisi ke gedung KPK dengan kedua tangan diborgol, AW bungkam. Berjalan menunduk, sepatah pun tidak menjawab pertanyaan wartawan. Penampilan AW berbeda dengan banyak tersangka yang digelandang KPK: murah senyum, sesekali melampaikan tangan.

Saya menduga, AW adalah buron pesanan. Artinya, dia ditangkap untuk menambah daftar panjang pekerjaan KPK. Lebih penting dari sekedar itu, terpsosesnya AW di meja KPK adalah untuk mengalihkan perhatian publik dari sebuah isu besar bernama korupsi yang sedang melanda negeri ini.

Hampir pasti, akan segera menyusul sejumlah ‘pesakitan’ baik pelarian maupun yang masih di dalam negeri,  terjaring oleh KPK. Negeri ini sedang dirundung malang. Sejumlah politisi sibuk menghidar dari jeratan KPK. AW dan juga yang lain, kelak akan berdiri sebagai tameng, menyelamatkan politisi korup. Semakin banyak AW, semakin asyik KPK memainkan palu. Dan tentu saja semakin jauh politisi korup tersentuh oleh tangan KPK.


Pada era orde baru, nyaris terjadi revolusi sosial. Era reformasi, peluang revolusi sosial adalah kecil. Yang mulai namapak adalah revolusi moral. Ini sangat ditakuti oleh para politisi korup. AW, untuk sementara terposisi sebagai ‘buron pesanan’, yang dianggap bisa memperlambat gerakan revolusi moral. Politisi kotor akan tetap kelihatan bersih dengan menjebak orang-orang bodoh seperti AW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...