Saya mendatangi undangan resepsi pengantin. Lokasi ada di gedung megah, tengah sawah. Kata teman saya, biar alami, karena jenuh hiruk pikuk kota. Di perut kota, kata dia, terlalu hingar-bingar dan bising.
Manten jaman kini, tidak mau tamunya tersesat. Pada undangan, di samping disertakan
pentunjuk lokasi, ditulis sejumlah rincian teknis seperti: jam berapa harus
datang, pakaian bebas tapi rapih, termasuk tidak menerima cendera mata.
Rupanya ini siasat cerdas, bahwa
si pengantin tidak mau repot menyiapkan truk tronton gara-gara kado yang
menggunung di samping pintu gedung.
Amplop berisi sejumlah uang
talikasih adalah pilihan tepat dan barangkali juga pilihan utama. Itung-itung
bisa bantu bayar seluruh makanan yang dipesan untuk prasmanan. Agak naif,
tetapi fakta banyak yang begitu.
Saya tidak habis pikir, bahasa
para penerima tamu diseragamkan, bahkan
disesuaikan dengan perkembangan teknologi canggih.
Saya dihampiri sepasang
penerima tamu. Tetap menggunakan gerak santun peradaban, mereka menyodorkan
jempol tangan kanan.
“Silakan Bapak mengunggah
makanan yang telah tersedia,” kata mereka berbarengan.
Saya kaget karena bahasa yang
barusan mereka ucapkan. Buru-buru, seseorang yang sejak masuk pintu gedung
berbarengan, berbisik lirih ke saya.
“Mengunggah itu maksudnya
menikmati atau mencicipi hidangan,” ujar dia.
Saya tersenyum, makanan kok seperti
foto atau video, diunggah.
Tidak mau kalah, karena
pengantin yang hari itu berdiri di ruang resepsi dua pasang (kakak beradik),
maka ketika berpamitan saya pun menyampaikan pesan terbuka.
“Awas, kalian jangan salah
munnggah ya,” saya meminjam mikrofon pembawa acara.
Dan kedua pasang pengantin itu
pun gelak ketawa, diikuti riuh ribuan tamu yang hadir.
Bambang Wahyu Widayadi