Calon Bupati Gunungkidul yang bertarung pada Rabu Wage 9 Desember 2020, Nomor Urut 1 hingga Nomor Urut 4 secara linier rupanya ada dalam alur pikiran yang sama, bahwa usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM merupakan salah satu agen pertumbuhan ekonomi. Ada pihak yang berpendapat lain, bahwa pusat pertumbuhan tidak serta-merta di bidang usaha, tetapi di sektor SDM secara holistik dalam konteks upaya menaikan pendapatan perkapita.
Mengkritisi teknik pengembangan UMKM, di dalam konsep keempat Calon Bupati Gunungkidul terlihat hal-hal yang bertentangan.
Di satu sisi mereka mendorong berkembangnya usaha keci, di sisi lain, mereka berharap pemodal besar menanamkan duitnya ke Gunungkidul.
Jika pikiran mereka itu benar bisa diterapkan, yang terjadi adalah (saya meminjam istilah Sutrisna WIbawa) inkubator bisnis (UMKM) akan berhadapan dengan predator bisnis.
Siapa pemenangnya, bahwa mudah ditebak UMKM akan kembang kempis, karena pemilik modal besar pasti akan memggulung nasib UMKM di Gunungkidul.
Di kalangan pemikir pembangunan di Gunungkidul ada yang menganut teori yang keliru, terutama di dalam menyebut pusat pertumbuhan ekonomi dan mesin pertumbuhan ekonomi.
Unit terkecil negara adalah Kepala Keluarga. Pemikiran ini membawa konsekuensi logis, bawa pusat pertumbuhan ekonomi tidak berada di tangan Pemerintah Desa, melainkan di tangan Kepala Keluarga.
Artinya, bahwa pendapatan setiap Kepala Keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, serta kelayakan sosial, merupakan inti pusat pusat pertumbuhan ekonomi suatu Desa.
Gambaran kongkretnya begini manakaka 700 KK Gunungkidul masing-masing telah tercukupi kebutuhan dasarnya, berarti pertumbuhan ekonomi mulai bergerak, seiring dengan indek pembangunan manusia (IPM).
Sebaliknya jika hanya UMKM yang didorong dan dugerakkan, ketimpangan pendapatan tidak akan teratasi. Apalagi mau mengejar angka pertumbuhan, pasti sangat sulit untuk bisa dicapai.
Secara tersirat, keempat calon Bupati Gunungkidul itu konsep pemikirannya tidak jauh dari sidtem kapitalisme yang terus merangsek dan merombak tatanan sosial dunis.
Sebut contoh, Cina yang awalnya mengagungkan sistem ekonomi komunal, kini rontok dan mengadopsi pergaulan kapitalistik.
Masyarakat kapitalis yang banyak disebut sebagai masyarakat moderen, dikritik habis-habisan oleh Max Horkeimer, salah seorang cendekiawan sekaligus tokoh yang tergabung di dalam Sekolah Frankfurt di Jerman.
Max Horkeimer, di dalam buku Dilema Usaha Manusia Rasional, yang ditulis Sindhunata menyatakan kelemahan mendasar masyarakat kapitalis adalah buta.
Alasan Max, di sepanjang hidupnya, manusia yang kapitalistik selalu berfikir bagaimana caranya agar modal yang di tangan bisa berkembang tanpa batas.
Sementara itu menurut Horkeimer, karakteristik modal adalah buta, karena modal adalah benda mati.
Kembali ke Pilkada Gunungkidul 2020, pada tata pemerintahan baru, setidaknya di tahun 2022, akankah UMKM juga pemilik modal dihadirkan dalam kancah usaha, kemudian mereka dibiarkan bertarung secara bebas?
Pasca Pilkada, Gunungkidul mau dibawa ke mana, ke pinggir jurang, atau ke laut kesejahteraan, itu tergantung, siapa Bupatinya. (Bambang Wahyu Widayadi).