Amazingnya amazing atau keluarbiasaan yang paling luar biasa adalah dihamparkannya bumi sebagai fasilitas utama manusia dalam menggapai perniagaan dunia akhirat. Langit ditinggikan tanpa tiang, angin diputar, awan pun menurunkan hujan sehingga bumi menghijau seperti zamrut.
Tugas merawat bumi-Nya dengan pertanian, bagi saya adalah sama dengan mencintai tanah desa kelahiran guna melestarikan kebudayaan yang telah tumbuh berjuta-juta tahun lewat.
Bercocok tanam atau bertani masih dianggap bukan merupakan kegiatan kebudayaan. Ini satu pendapat yang menurut saya tidak tepat, karena dihimpun dari berbagai sumber, kebudayaan itu terdiri dari tiga elemen utama yaitu ide, aksi dan karya.
Setiap manusia, pada hemat saya dikaruniai energi untuk memikirkan sesuatu, dan berfikir, menurut saya adalah fitrah manusia, kecuali mereka yang sedang hilang akal.
Ide yang ditindaklanjuti dengan aksi akan melahirkan karya yang bisa dilihat atau diraba, yang dalam khasanah kebudayaan lazim disebut artefak.
Tidak boleh dilupakan, bahwa artefak tidak hanya berupa benda mati seperti alat dari batu, logam, gerabah, dan prasasti. Atefak ada pula yang berupa benda hidup, sebut saja hiasan bonzai misalnya.
Bonzai, menurut saya merupakan bagian sekaligus bentuk khusus dari kegiatan pertanian. Manakala teknik dan ilmu pencampuran media bonzai ditransfer ke dalam pertanian umum, maka akan melahirkan hasil yang spektkuler guna mencukupi ketersediaan cadangan pangan di titik rumah tangga.
Pertanian di dalam pot? Benar, itu yang saya maksud. Tetapi bertani selama ini hanya dikonotasikan sebagi menggarap sawah, ladang atau tegal.
Konsep dan lokasi betani dalam arti luas untuk menuju kemandirian pangan, pada hemat saya perlu diperbaharui. Mengolah tanah di sekitar rumah pun layak masuk ke dalam salah satu jenis pertanian yang memiliki keistimewaan khas.
Budidaya tanaman di dalam pot dewasa ini sedang ngetrend, terbukti banyak warga yang membeli bibit dari produsen bibit seperti pepaya, jambu, jeruk, belimbing, kedondong, bahkan bibit sayuran seperti seledri. Mengapa harus membeli, sementara setiap warga bisa mengupayakan atau menyemai sendiri tanaman tersebut sesuai selera yang dimaui.
Itulah yang saya maksud dengan merawat karunia Illahi yang berupa hamparan tanah. Saya tidak sebatas omdo alias omong doang. Di pekarangan rumah yang tidak begitu luas saya memiliki sejumlah tanaman di dalam pot plastik, dan juga polyback.
Latar belakang gerakan budidaya tanaman di dalam pot, sebenarnya sangat sederhana, yaitu lantaran saya prihatin melihat fakta, bahwa serombongan ibu rumah tangga setiap pagi menunggu tukang sayur lewat. Ini pemandangan yang sangat aneh, karena orang desa membeli sayuran.
Untuk mengurangi pengeluaran dapur saya merintis, kemudian mengajak ibu-ibu dengan lecutan kalimat inspiratif dari Ir. Arintoko. Dia seorang petani tebu yang berpindah menjadi petani porang berucap begini, "Makanlah apa yang anda tanam dan tanamlah apa yang anda makan. Berhasil? Tentu awalnya sangat berat.
Tetapi lurah saya, Lurah Desa Putat, Sukardi berhasil mendesain, tanaman di dalam pot menjadi ajang lomba antar Padukuhan pertengahan Oktober 2020 silam.
Padukuhan Putat Wetan, tempat saya tinggal, pada ajang lomba tempo hari, nomor harapan pun tak dapat, tetapi saya bangga karena pertanian di dalam pot menjadi pilihan kegiatan ibu-ibu secara berkelanjutan. Tidak harus diajari, hidup di tengah komunitas Desa Budaya, warga Padukuhan Putat Wetan klimaksnya berhasil menciptakan Wedang Seruputan, berupa minuman Seruni Putat Wetan, yang bahan bakunya tanaman serai dan jeruk lemon yang budidayakan di sekitar pekarangan rumah.
Wedang Seruputan, saat ini menjadi trade mark, bahasa kerennya menjadi ikon Padukuhan Putat Wetan yang pada Kamis 5 November 2020 besok bakal diluncurkan Penewu Patuk, Raden Haryo Ambar Suwardi, SH, disaksikan Dinas Perindustrian, juga Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul.
Semangat yang tertanam di dalam dada warga Putat Wetan, Merawat Bumi-Mu Ya Allah, Sejalan Dengan Mencintai Desaku, Desa Budaya dengan aneka pernik kegiatannya, termasuk di dalamnya pertanian di dalam pot.
Catatan: Naskah ini disiapkan untuk mengikuti kompetisi penulisan esay yang diselenggarakan Dinas Kundha Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Bambang Wahyu Widayadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda