Demikian ulasan kritis pengamat sosial Joko Priyatmo (Jepe) merespon fenomena bedah rumah yang dilakukan secara patungan di Dusun Dengok III, Desa Dengok, Kapanewon Playen, Gunungkidul pertengahan Juni 2020.
Duapuluh dua tahun, kata Jepe, kekuasaan berada di tangan Orde Reformasi, perbaikan hunian yang dikenal dengan nama bedah rumah masih menjadi beban APBN atau APBD. Sedikit lembaga nonpemerintah yang terusik menyelesaikan rumah reot kaum dhuafa, agar mereka menikmati hunian sehat.
Di Gunungkidul menurutnya belum pernah dilakukan sensus rumah tidak layak huni. Sebatas perkiraan, sesuai jumlah padukuhan 1.431, patut diduga, jika setiap padukuhan terdapat 2 unit rumah tak layak untuk ditempattinggali, maka diperkirakan, Gunungkidul masih memiliki sekitar 2.862 unit rumah reot.
Angka sejumlah itu, ketika hanya diserahkan kepada Pemerintah, rupanya tidak akan rampung, meski rezim Orde Reformasi sampai ke 2045.
"Bedah rumah akan dijadikan proyek mainan bagi rekanan, dan itu cukup rawan penyimpangan. Di Gunungkidul, contohnya terlalu banyak," ujar Jepe, (25/6/20).
Para politisi yang duduk di parlemen, baik yang di Senayan maupun yang di daerah, terang Jepe, memilih sibuk memilih jalur memperjuangkan kebijakan dan mengontrol kerja eksekutif.
"Belum pernah ada ide, bahwa 45 anggota DPRD patungan merehabilitasi rumah reot yang tersebar di 1.431 padukuhan," tegas dia.
Orang yang diberi rejeki lebih, lanjut Jepe, di Gunungkidul jumlahnya juga tidak sedikit. Mengapa mereka tidak memiliki alur pemikiran seperti Haris dan kawan-kawan?
Tahun 2020, kalau tidak ada aral, Rabu Wage 9 Desember akan berlangsung Pilkada Serentak.
"Ke mana itu para kandidat? Apa mereka tidak memiliki empati," tanya Jepe, ngeles politik.
Bambang Wahyu Wijayadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda