Sunaryanta di Ndalem Benawan |
Sunaryanta merunut benang merah alias mrncari hubungan antara Babat Alas Mentaok dengan Babat Alas Nongko Doyong.
Berangkat dari Ndalem Benawan di Jalan Ratawijayan No. 44, Calon Bupati yang diusung Partai Golkar dan PKB itu melacak kekuasaan Mataram Baru.
"Sebagai warga Jokja, sekaligus sahabat, saya harus mendampingi Mayor Sunaryanta. Saya berharap, niat beliau memimpin Gunungkidul dalam Pilkada 9 Desember 2020 diridhoi Allah SWT," tutur Gusti Aning, srbelum berangkat ziarah.
Gusti Aning |
Setelah menikmati jamuan makan pagi, Gusti Aning dan istri mendampingi Sunaryanta menuju Kota Gede, ke Makam Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Mrentani, dan Pasarehan Panembahan Senapati.
Ziarah di Makam Ki Ageng Pemanahan |
Rombongan tiba di Makam Raja Mataram bersamaan azan duhur. Di pusara Sultan Agung, Raja Mataram yang tersohor dengan keberaniannya menyerang Kumpeni di Batavia (sekarang Jakarta) para peziarah hampir 2 jam lebih.
Melacak kekuasaan Mataram tidak cukup sampai di Makam Imogiri. Sunaryanta bergerak ke Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan.
Sunaryanta Tiba di Jimatan Imogiri |
Di Makam Ki Ageng Giring |
Khalayak memahami, bahwa makam Ki Ageng Giring ada di Desa Sada, Paliyan. Itu tidak keliru, papar Gusti Aning. Tetapi yang perlu dipahami dan diluruskan, yang dikebumikan di Sada itu adalah pakaian beliau, sementara jasad Ki Ageng Giring, menurut sejarah yang benar ada di Kalurahan Giring.
Sampai di Giring, rangkaian Babat Alas Mentaok itu berakhir. Tentang Babat Alas Nongko Doyong, yang dilakukan Ki Demang Wana Pawira, yang juga diziarahi Mayor Sunaryanta pada hari yang sama, itu cerita sejarah yang berbeda.
"Persamaannya, ada di titik permulaan. Ki Pemanahan berkeringat untuk kerajaan besar Mataram Baru, sedang Ki Demang Wana Pawira selaku salah satu abdi dalem, bekerja keras untuk wilayah Kabupaten," timpal Sulono (72), tokoh asal Desa Kemadang, yang ada di barisan Gusti Aning.
Makam Demang Wana Pawira |
Apakah Mayor Sunaryanta ini akan membuka atau membabat cara berfikir warga Gunungkidul, Sulana yang lahir 2 Februari 1948 ini mengaku tidak tahu persis.
"Yang saya pahami, ziarah yang beliau lakukan, tidak lebih dari mulat sarira hangrasa wani, bahwa kekuasaan manusia selalu berakhir di batu nisan," ulas Sulana.
(Bambang Wahyu Widayadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda