Lumbung versi aut door |
Sejarah lumbung pangan di Gunungkidul, dilacak dari tahun 1960-an banyak disimpan di dalam rumah (in door) budaya 'pedaringan'.
Artinya setelah masa panen, warga menyimpan cadangan pangan di dalam kotak kayu, atau juga tumbu besar.
Kebiasaan serupa itu, saat ini oleh sebagian warga Gunungkidul masih dilestarikan, khususnya pangan yang memang bisa disimpan dalam waktu yang lama.
Disamping itu, warga Gunungkidul memiliki banyak tanaman pangan yang tidak bisa disimpan di dalam rumah. Cadangan pangan jenis ini disimpan di halaman (out door) atau dibiarkan tetap berada di kebun seputar pekarangan.
Rujito, Ketua Rt 27 Rw 07, Padukuhan Putat Wetan, Desa Putat, Kapanewon Patuk, menyimpan ratusan tanaman cabe rawit di depan rumah.
"Untuk mengantisipasi gejolak harga pada masa-ma pandemi, sekaligus sebagai hiasan," ujar Rujito, (9/8/20).
Mbah Tugiran Gandung, warga Putat 1, tetangga Rujito, menyimpan keladi di kebun. Manakala panen, di samping untuk keperluan keluarga, sempat dia jual ke Pasar Piyungan.
"Dijual, kadang juga eman-eman, karena per kilo hanya dihargai Rp 5.000,00, padahal berdasarkan kabar tetbaru, di masa pandemi, dimungkinkan bakal terjadi larang pangan," ujar Tugiran.
Tidak hanya Rujito dan Tugiran Gandung, Slamet, S.Pd. MM, mantan anggota DPRD DIY merintis membuat lumbung pangan seluas 0,5 ha berupa tanaman pisang kavendis.
Menggagas lumbung pangan, menurut Slamet harus ditindaklanjuti dengan aksi, tidak hanya omdo alias omong doang.
"Mari, jangan hanya berangan-angan, segera lakukan, apa yang bisa dikerjakan," kata Slamet memotivasi.
(Bambang Wahyu Widayadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda