Pengelolaan negeri ini
semakin absurd. Nabi Musa dengan mu’jizat mampu membelah laut merah, lolos dari
kejaran Fir’aun. Saya menganalisis absurditas negeri ini menganalogi sejarah
klasik itu.
MEREBUT dan MENGISI kemerdekaan diibaratkan godong suruh lumah lan kurebe. Dinulu seje rupane ginigit
tunggal rasane. Secara fisik, daun sirih sebalik hujau mengkilap,
sebelah kuning buram. Wanita desa yang memiliki kebiasaan meracik kinang,
mengatakan, daun sirih itu beda rupa, tetapi tak lain rasa.
Dalam konteks NKRI, perebut
kemerdekaan saya personifikasinan dalam diri Bung Karno, Bung Hatta, Pak Dirman dan Sri
Sultan HB IX. Pengisi kemerdekaan, terwakili
Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati Sukarno Putri, dan Susilo Bambang
Yudhoyono alias SBY. Tugas perebut maupun pengisi kemerdekaan analog belah laut merah serta daun
sirih. Sama-sama berat.
Empat (4) kesatria: Bung
Karno cs, di satu sisi saya hadapkan dengan lima (5) yang lain, Soeharto
dan penerusnya, secara paradok. Mengapa,
karena saya yakin, dalam hal ngelmu paraning urip, mereka menggali dari sumber yang
sama, tetapi dalam praktek, mereka berbeda.
Ngelmu paraning urip, merujuk budaya Jawa ada enam (6): momor, momot, momong, serta makutho,
makuthem, makuthethekan. Enam M,
sengaja saya belah dua, karena karakter kata tersebut secara nyata menunjuk
semantik yang berbeda.
Tiga M bagian pertama dianjurkan sebagai pegangan setiap kesatria dalam menjalani hidup
di jagat pasrawungan. Momor, maknanya hidup berbaur. Dalam masyarakat
patembayan, ada aneka suku, bangsa, agama. Ada yang melarat, ada yang kaya, ada
yang cantik, ada yang grumpung, ada yang sumbing, ada maling, ada gentho, ada
polisi, ada tentara, ada presiden, ada menteri, ada anggota DPR, dan masih
banyak yang lain. Seorang kesatria dikatakan momor,
manakala dalam srawung
tidak pilih kasih.
Momot, merupakan konsekuensi logis dari momor.
Artinya, kesatria harus mampu menampung aspirasi yang campur aduk. Dewasa ini
bisa digambarkan seperti permen nano-nano. Pada jaman sebelum kemerdekaan
diwujudkan dalam racikan rujak deplok. Ada rasa asin, manis, kecut, sepet, seger,
pedas, asem dan sebagainya. Terakhir, seorang kesatria harus pintar momong rujak deplok yang rasanya beraneka ragam.
Saya tidak akan menjastifikasi, silakan Anda cermati.
Antara Bung Karno cs. serta Soeharto dan
penggantinya, mana yang secara konsekuen
menegakkan ilmu momor, momong, dan momot.
Tidak cukup dengan 3 M. Kesatria harus pintar menekan makutho. Karena makutha adalah
penjelmaan sifat sombong, anngkuh, cenderung melecehkan orang lain. Orang
berkarakter makutho hanya berhubungan dengan warga yang setingkat, sederajat,
sekaya, seiman. Makutho perlu dihindari, karena tak sesuai dengan tuntunan momor.
Makuthem artinya egois. Tidak ada kesepahaman, bahwa
hidup adalah kebersamaan. Gotongroyong nihil. Kejayaan dunia dikejar, cenderung
didewakan. Uang dinobatkan menjadi tuhan. Politik bukan untuk rakyat dalam
wujud rujakkan deplok, tetapi sebatas untuk
kepentingan pribadi dan golongan. Fenomena pemilihan ketua umum Partai Demokrat
yang diduga menghamburkan uang rakyat milyaran rupiah adalah contoh pendewaan
jabatan. Kebersamaan yang dibalut dalam NKRI hanya slogaan dan jargon.
Makuthethekan merupakan tabiat paling
buruk. Duduk sama rendah berdiri tidak sama tinggi adalah ciri lintah politik.
Tidak dilarang ikut mengelola negara, dan bisa masuk koalisi sepanjang memiliki
kesetaraan visi misi dalam hal korupsi. Kesatria
yang sok bersih, tidak mau ramai-ramai menggarong uang rakyat, silakan minggir,
masuk kandang kambing.
Jarang ditemukan sosok Bung Karno yang tahu jerit seorang
Marhaen. Sulit mengenali Bung Hata dalam fenomena koperasi yang makin
kapitalistik. Tidak gampang mimpi ketemu Pangsar Sudirman yang mengacungkan
tongkat komando di atas tandu bersama prajurit. Terlebih membayangkan Sri
Sultan HB IX. Tidak ada kesatria yang menyamai beliau.Padahal teladannya amat
sederhana. Sri Sultan HB IX, dengan jeep tua,
tak segan angkat karung dari Pakembinagnun ke Pasar Beringharjo, tatkala
menolong simbok pedagang beras.
Bung Karno, Bung Hata, Pak Dirman, Kanjeng Sultan IX, rakyat
merindu titisan yang sanggup membaut Negeri ini sesuai amanat preambul UUD
1945. Mengutip sepotong sajak karya Umbu Landu Paranggi, “Rinduku pada Sumba,
rindu padang terbuka”. Rinduku pada Indonesia, rindu gagahnya kesatria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda