Kamis, 16 Januari 2014

"RINDUKU PADA SUMBA, RINDU PADANG TERBUKA"


Pengelolaan negeri ini semakin absurd. Nabi Musa dengan mu’jizat mampu membelah laut merah, lolos dari kejaran Fir’aun. Saya menganalisis absurditas negeri ini menganalogi sejarah klasik itu.

MEREBUT dan MENGISI kemerdekaan diibaratkan godong suruh lumah lan kurebe. Dinulu seje rupane ginigit tunggal rasane. Secara fisik, daun sirih sebalik hujau mengkilap, sebelah kuning buram. Wanita desa yang memiliki kebiasaan meracik kinang, mengatakan, daun sirih itu beda rupa, tetapi tak lain rasa.

Dalam konteks NKRI, perebut kemerdekaan saya personifikasinan dalam diri  Bung Karno, Bung Hatta, Pak Dirman dan Sri Sultan HB IX. Pengisi kemerdekaan, terwakili Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati Sukarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Tugas perebut maupun pengisi kemerdekaan analog belah laut merah serta daun sirih. Sama-sama berat.

Empat (4) kesatria: Bung  Karno cs, di satu sisi saya hadapkan dengan lima (5) yang lain, Soeharto dan penerusnya,  secara paradok. Mengapa, karena saya yakin, dalam hal  ngelmu paraning urip, mereka menggali dari sumber yang sama, tetapi dalam praktek, mereka berbeda.

Ngelmu paraning urip, merujuk budaya Jawa ada enam (6): momor, momot, momong, serta makutho, makuthem, makuthethekan. Enam  M, sengaja saya belah dua, karena karakter kata tersebut secara nyata menunjuk semantik yang berbeda.

Tiga M bagian pertama dianjurkan sebagai  pegangan setiap kesatria dalam menjalani hidup di jagat pasrawungan.  Momor, maknanya hidup berbaur. Dalam masyarakat patembayan, ada aneka suku, bangsa, agama. Ada yang melarat, ada yang kaya, ada yang cantik, ada yang grumpung, ada yang sumbing, ada maling, ada gentho, ada polisi, ada tentara, ada presiden, ada menteri, ada anggota DPR, dan masih banyak yang lain. Seorang kesatria dikatakan momor, manakala dalam  srawung tidak pilih kasih.

Momot, merupakan konsekuensi logis dari momor. Artinya, kesatria harus mampu menampung aspirasi yang campur aduk. Dewasa ini bisa digambarkan seperti permen nano-nano. Pada jaman sebelum kemerdekaan diwujudkan dalam racikan rujak deplok.  Ada rasa asin, manis, kecut, sepet, seger, pedas, asem dan sebagainya. Terakhir, seorang kesatria harus pintar momong rujak deplok yang rasanya beraneka ragam.

Saya tidak akan menjastifikasi, silakan Anda cermati. Antara  Bung Karno cs. serta Soeharto dan penggantinya, mana yang  secara konsekuen menegakkan ilmu momor, momong, dan momot

Tidak cukup dengan 3 M. Kesatria harus pintar menekan makutho. Karena makutha adalah penjelmaan sifat sombong, anngkuh, cenderung melecehkan orang lain. Orang berkarakter makutho hanya berhubungan dengan warga yang setingkat, sederajat, sekaya, seiman. Makutho perlu dihindari, karena tak sesuai dengan tuntunan momor.

 Makuthem artinya egois. Tidak ada kesepahaman, bahwa hidup adalah kebersamaan. Gotongroyong nihil. Kejayaan dunia dikejar, cenderung didewakan. Uang dinobatkan menjadi tuhan. Politik bukan untuk rakyat dalam wujud rujakkan  deplok, tetapi sebatas untuk kepentingan pribadi dan golongan. Fenomena pemilihan ketua umum Partai Demokrat yang diduga menghamburkan uang rakyat milyaran rupiah adalah contoh pendewaan jabatan. Kebersamaan yang dibalut dalam NKRI hanya slogaan dan jargon.

Makuthethekan  merupakan tabiat paling buruk. Duduk sama rendah berdiri tidak sama tinggi adalah ciri lintah politik. Tidak dilarang ikut mengelola negara, dan bisa masuk koalisi sepanjang memiliki kesetaraan visi misi dalam hal korupsi.  Kesatria yang sok bersih, tidak mau ramai-ramai menggarong uang rakyat, silakan minggir, masuk kandang kambing.

Jarang ditemukan sosok Bung Karno yang tahu jerit seorang Marhaen. Sulit mengenali Bung Hata dalam fenomena koperasi yang makin kapitalistik. Tidak gampang mimpi ketemu Pangsar Sudirman yang mengacungkan tongkat komando di atas tandu bersama prajurit. Terlebih membayangkan Sri Sultan HB IX. Tidak ada kesatria yang menyamai beliau.Padahal teladannya amat sederhana. Sri Sultan HB IX, dengan jeep tua,  tak segan angkat karung dari Pakembinagnun ke Pasar Beringharjo, tatkala menolong simbok pedagang beras.


Bung Karno, Bung Hata, Pak Dirman, Kanjeng Sultan IX, rakyat merindu titisan yang sanggup membaut Negeri ini sesuai amanat preambul UUD 1945. Mengutip sepotong sajak karya Umbu Landu Paranggi, “Rinduku pada Sumba, rindu padang terbuka”. Rinduku pada Indonesia, rindu gagahnya kesatria. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...