Anas & Abraham. Ft. Merdeka.com Motage Bewe |
Anas Urbaningrum melakukan
metamorfose. Pendiri sekaligus ketua PPI ini mengubah wujud dari tersangka
koruptor ke (seperti laiknya) tahanan politik. Anas memang beda. Sangat berbeda
dibanding Nazarudin, Angelina Sondhak, bahkan Andy Malarangeng. Dari balik
terali besi dia bersiap-siap membuka tabir. Anas melancarkan serangan yang
konfigurasnya kurang lebih akan diformat menjadi episode purwa, madya, dumugi wusana.
Sekjen PPI Gede Pasek Suardika kepada TEMPO mengatakan, Anas memiliki
kesibukan baru, menulis segala sesuatu yang dirasakan terkait dengan kasus
hukum yang membelitnya. "Anas menulis buku tentang sisi yang belum bisa dilihat dari
luar. Itu akan dikeluarkan semua," kata Pasek di kediaman Anas,
Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat, 17 Januari 2014, sebagaimana dikutip TEMPO.
Andy Malarangeng kalah tegar. Sebelum masuk ke lingkaran politik dia
terbilang akademisi sekaligus kolumnis yang produktif. Saya termasuk pembaca setia,
tulisan-tulisan Andy Malarangeng. Tetapi begitu tertelikung seragam orange
hadiah KPK, Andy bungkem. Mendadak ketajaman penanya tumpul. Alumuns UGM ini
kehilangan segala-galanya, termasuk kehilangan karakteristik tulisannya yang
kritis.
Produktifitas Anas, dalam hal tulis menulis, sebenarnya tak sebanding
jika disejajarkan Andy Malarangeng. Tetapi
dasar orang pergerakan, begitu merasa didzolimi, naluri perlawanannya
menggeliat. Ibarat Merapi, atau Sinabug, kekuatan indogen menggelegak, menyebabkan
SBY juga petinggi Partai Demokrat yang
lain menjadi kewalahan.
Saya melihat, Anas memposisikan diri , seolah seperti Bung Karno saat
berada di penjara Suka Miskin tahun 1931. Fakta sejarah dan hukum mengatakan,
saat itu Bung Karno memang tahanan politik, versi kacamata Belanda.
Melalui tulisan bertajuk “Keadaan Di Penjara Sukamiskin,
Bandung,” Bung Karno bercerita, bahwa orang tangkapan seperti dia, hanya
boleh menulis surat dua minggu sekali. Keluarga, maksudnya istri, boleh
menjenguk dua kali dalam sebulan. Itu pun tidak boleh membawa oleh-oleh. Begitu
Bung Karno menulis tertanggal 17 Mei 1931, dari Penjara Suka Miskin yang
dihimpun dalam buku setebal 627 halaman yang kesohor Di
Bawah Bendera Revolusi.
Kembali ke Anas, yang mendadak (akan) menjadi penulis produktif, publik
berharap, KPK tidak menjadi penguasa hukum. Lebih
jauh, KPK tidak berperan sebagai penjajah hukum. Artinya, KPK musti memberi keleluasaan
kepada Anas untuk mengekspresikan apa yang dia rasa dan alami, baik selama dia
berada dalam tahan maupun sebelum masuk perangkap.
Saya yakin, Anas tahu banyak tentang
sepak terjang Partai Demokrat, partai katak yang mendadak menjadi partai lembu.
Anas juga banyak tahu, tingkah para petinggi
Partai Demokrat, dari tokoh yang miskin harta mendadak menjadi Orang Kaya Baru
(OKB). Tidak sepantasnya anas dibungkem. Apalagi dibunuh. Biarkan semua
mengalir dari dari mulut seorang anak pergerakan yang bermarkas di Duren Sawit.
Fenomena Anas berani digantung di Monas, tidak cukup diartikan secara
harafiah. Statemen itu adalah teka-teki besar tentang nasib negeri yang kita
cintai. Wartawan Udin mati di Jogya karena ketajaman pena. Munir tersungkur di
montor mabur, karena melawan ketidakadilan. Anas, jangan mati, atau dimatikan,
sebelum sejumlah koruptor memenuhi Penjara Suka Miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda