Drs. Sudodo, Kadinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul. Ft. Bewe
Tahun
2012 Kemendikbud cq Dirjen Dikdas memberitahukan bahwa guru yang bertugas di
satuan pendidikan daerah khusus (tertinggal) memperoleh tunjangan. Mereka,
maksudnya para guru SD di Gunungkidul, termasuk diberi kesempatan mengkases tunjangan
tersebut secara online.
“Pihak
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Gunungkidul, tidak
memiliki kewenangan untuk melarang para guru, terkait dengan akses internet
yang ditawarkan oleh pusat,” kata Drs. Sudodo,
Jum’at pagi, di ruang kerjanya, 24/1/2014.
Alhasil,
setahun penuh (selama 2013) guru SD sebanyak 265 menikmati tunjangan. Mendadak
ada pemberitahuan bahwa tunjangan itu akan ditarik kembali, karena Gunungkidul mulai
2011 tidak lagi tergolong DT.
Mengomentari
perihal renaca penarikan tunjangan tersebut Udi Marnoto, SH Kabag Hukum Pemda
Gunungkidul berkata singkat dan tegas. “Mau tidak mau, para guru harus
mengembalikan. Menolak, berarti merugikan keuangan negara. Cepat atu lambat, mereka
pasti dijerat tipikor”
Kacamata
pengamat beda lagi. Danang (43) Direktur Sorot Gunungkidul menyebut, para guru itu
adalah korban sistem. “Mendikbud, selain Mentri PDT, adalah pihak yang paling bertanggungjawab
atas kasus yang menimpa 265 guru SD itu,” katanya 24/1/2014. “Mosok Muhammad
Nuh selaku Mendikbud mau cuci tangan, gak bisa dong,” demikian Danang
berargumen.
Pemikiran
Danang masuk akal, Mendikbud seharusnya tahu, bahwa tahun 2011 Gunungkidul
sudah tidak masuk kategori daerah tertinggal. Seandianya tidak paham, Mentri PDT, Dr.
Ir Helmy Faishal Zaini seharusnya memberi tahu, karena
perubahan status itu tidak berfakta hukum.
Lebih
khusus, menurut Danang, para guru patut melakukan protes ke pusat. “karena pembatalan
tunjangan, tidak berdasar pada fakta hukum. Mosok pengumuman Wonogiri bisa dijadikan alasan untuk menghukum guru. Itu
gila.”
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda