Baliho Individualistik yang terpicu Undang-Undang. Ft. Bewe |
Putar-putar
ke 18 kecamatan di Gunungkidul, saya memergoki baliho yang menurut saya sangat individualistik. Foto caleg banyak bertengger
di pinggir jalan, meski itu hanya disangga dengan bilah bambu. Nomor urut caleg
ditulis komplit, tetapi yang diberi isyarat gambar
paku hanya satu. Ini artinya, calon pemilih digiring untuk mencoblos
nomor urut yang diberi tanda tersebut. Salah? Tentu saja tidak.
Yang
menggelitik pikiran saya, cara kampenye sebagaimana dipertontonkan dalam baliho
itu menunjukkan, bahwa di internal partai yang bersangkutan masalah kebersamaan
menjadi sebuah teka-teki yang patut dipertanyakan. Tidak hanya pada baliho.
Setiker yang beredar di masyarakat pun, menggunakan gaya penampilan yang sama. Dan
itu umum dilakukan oleh caleg dari parpol manapun.
Ini
sebuah resiko dari UU Pemilu No. 8 tahun 2012, yang secara eksplisit menggiring
para caleg untuk berperilaku individualistik. Secara sistematis, UU No. 8 Tahun
2012 membuat pola atau alur mulai dari penetapan perolehan kursi hingga
penetapan calon terpilih.
Penetapan perolehan kursi, di pasal
212 disebutkan, setelah ditetapkan angka BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
211 ayat (2), ditetapkan perolehan jumlah kursi tiap Partai Politik Peserta
Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. apabila jumlah suara sah
suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka
dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan
terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua.
Setelah kursi ditetapkan, siapa
yang berhak menduduki ditetapkan di Pasal 215. Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan
pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan
dengan ketentuan: a. Calon terpilih
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak.
Rumusan inilah
yang melatarbelakangi mengapa banyak baliho dan stiker berkualitas
individualistik. Saya berfikir, semangat gotong royong masih nampak ketika
penetapan calon terpilih menggunakan sistem no. urut. Tetapi jangan salah
sangka, saya juga tak sepaham kalau kembali ke romantisme orde baru.
Yang perlu
dibenahi adalah terwujudnya kerjasama antar caleg dalam satu partai. Sebutlah 5
orang caleg dari partai A berkumpul membahas siapa yang kemungkinan besar duduk di kursi
legeslatif. Tentu saja sangat tidak mungkin kelima orang caleg itu kesemuanya
duduk di parlemen. Empat orang caleg yang harus berada di luar gedung,
sementara sedikit/banyak mereka menyumbang suara. Pertanyaan sederhana: sudikah
caleg yang duduk di kursi memberi nilai rupiah kepada keempat rekan yang berada
di luar parlemen, sesuai dengan sumbangan suara yang mereka berikan?
Hiitungan
gampang, Si Suto menyumang by name 250. Sementara yang duduk di gedung DPR Si
Noyo. Kalau 1 suara dihargai Rp 1000.00 maka setiap bulan Suto memperoleh jatah
Rp 250.000,00. Cara demikian lebih mengarah pada semangat kebersamaan, dan
ujungnya membesarkan partai adalah perkara yang tidak sulit.
Pertanyaan saya
sedehana : seajauh inikah pemikiran para caleg yang sekarang hingar bingar
bertarung di 9 April 2014?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda