Kamis, 01 Oktober 2020

PKI TELAH MATI, TETAPI KOMUNIS MASIH HIDUP



Mulai pertengahan sampai dengan minggu terakhir bulan September 2020, pembicaraan soal dugaan bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak mewarnai pemberitaan media cetak, online dan televisi.  

Defakto dejure, PKI telah dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia 12 Maret 1966. Sementara berbicara soal komunis ibarat orang makan rujak, pedes, asin dan manisnya seperti bikin orang tidak kapok, malah sebaliknya, membuat orang ketagihan. 

Meski PKI telah dipaksa terkubur oleh sejarah, faktanya komunis tidak serta-merta mati. Meminjam istilah Bung Karno, komunisme adalah sebuah stelsel, sebagaimana kapitalisme. Komunisme merupakan sebuah pergaulan hidup, atau sebuah  paham. Cara berfikir komunistik lahir sebagai antithesa stelsel kapitalisme.
  
Di Indonesia, doktrin yang diajarkan Nyoto, salah satu Benggol PKI, adalah bahwa komunis merupakan organisasi tanpa bentuk, sehingga kehadirannya tidak mudah diketahui, meski model, gayanya dan aromanya sangat mudah dirasakan. 
 
Itu sebabnya, saat masih aktif sebagai Panglima TNI, Jendral Gatot Nurmantyo getol menyerukan pemutaran film dokumenter G-30S/PKI, guna mengingatkan potensi bangkitnya paham komunis. 

Presiden Joko Widodo tidak terlalu risau dengan seruan Gatot Nurmantyo, karena dengan kewenangan seorang Presiden, dia berhak mencopot jabatan panglima, siapa pun yang duduk di sana.  

Bukan hanya kabar burung atau isu, kedekatan Indonesia pada RRC, terkait utang negara semua orang tahu. Mau dibayar dengan apa, ini yang menjadi pertanyaan besar, karena tidak setiap kepala mampu menjangkau kebijakan itu. Bosporus Peking II, setelah Menlu Subandrio pada masa Soekarno berkuasa sebelum meletus pemberontakan PKI 1965 muncul di era pemerintahan Jokowi.  

Memang ada nasehat carilah ilmu, walau sampai negeri Cina. Terapi ini tidak bisa dianalogikan dengan carilah hutang, meski dengan negeri tirai bambu. 
 
Teka- teki yang tidak mudah dicari jawabannya, siapa yang mendorong Pemerintah merapat ke Peking, sehingga tidak ada rasa khawatir, bahwa negeri ini berada di mulut naga. 

Sebagai intelektual muslim, wajar jika Amien Rais kemudian menulis dan meluncurkan buku bertitel 'Risalah Kebangsaan: Pilihan untuk Pak Jokowi, Mundur atau Terus'. https://news.detik.com/berita/d-5188717/amien-rais-luncurkan-buku-berisi-deretan-kritik-ke-jokowi

Dari 13 kritik yang ditulis, Amien Rais menyinggung soal komunis. Resiko yang disandang Amien Rais, dia merelakan dirinya menjadi bahan olok-olok dan cibiran bagi kelompok yang berseberangan terutama yang tidak menyukainya secara pribadi.  

Amien Rais seperti memberi sinyal tentang merebaknya sebuah organisasi tanpa bentuk yang sewaktu-waktu, menerkam ideologi Bangsa Indonesia. Gelagatnya, Garuda Pancasila, saat ini dijadikan mainan layang-layang. 


(Bambang Wahyu Widayadi)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...